Selasa, 22 Desember 2009

….Antara Luna, Prita, & Sri Mulyani…

Ketiganya sama-sama cantik. Sama-sama mempunyai akhiran inisial M (LM, PM
dan SM) dan lucunya mempunyai tanggal lahir yang similar (LM: 28, PM: 27
dan SM: 28). Bukan kebetulan pula bila ketiga sama-sama terjerat
permasalahan informasi elektronik sehingga tampaknya ketiganya patut
didaulat menjadi tajuk berita penutup di tahun 2009 ini.

A. Infotainment = Pelacur

Masih jelas dalam ingatan kita pada 18 November 2009 yang lalu ketika Pers
dipanggil oleh Direktur II Ekonomi Khusus Mabes Polri berkaitan dengan
laporan polisi tertanggal 30 Oktober 2009 tentang dugaan pencemaran nama
baik dan fitnah sebagaimana yang diatur dalam pasal 421 KUHP jo 310 jo 311
KUHP Jo Pasal 27 UU ITE. Laporan tertanggal 30 Oktober adalah laporan
Anggodo yang tidak terima karena disadap KPK.

Pers menolak keras panggilan Kepolisian tersebut dan merasa sangat
dikriminalisasi serta terancam. Apalagi Pers merasa sangat terlindungi
melalui mekanisme hukum yang menjamin kebebasan mereka (Pasal 28 F UUD
Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan II, Pasal 20 dan 21 TAP MPR RI
XVII/MPR/1998 tentang Piagam HAM, Pasal 14 UU No 39 Tahun 1999 tentang
HAM, Pasal 17 Jo. Pasal 1 angka 11, 12, dan 13 Jo Pasal 15 ayat (2) huruf
(d ) UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights).

Dengan semangat kebebasan Pers akhirnya Kepolisian “mengalah” dan Pers pun
“menang”. Kedigdayaan Pers pun meningkat dan berimbas pada UU Pers cq Hak
Jawab yang semakin tersohor keampuhannya. Keadilan tampaknya telah
ditegakkan. Namun sungguh ironis ketika pada tanggal 17 Desember 2009,
artis Luna Maya dilaporkan oleh segenap wartawan infotaintment bersama PWI
Jaya ke Polda Metro Jaya atas tuduhan Pencemaran Nama Baik (Pasal 310,
311, 315, dan 335 KUHPidana Jo. Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 45 Ayat 1 UU
ITE). Pers yang dulu menolak dipanggil oleh Polisi karena merasa
dikriminalisasi sekarang malah melaporkan seorang Warga Negara yang justru
merasa dikriminalisasi oleh Pers itu sendiri.

Berkaca pada kasus tersebut diatas membuat saya berpikir bahwa hukum di
Indonesia adalah pedang yang dapat melukai siapapun tergantung pemiliknya.
Hukum hanyalah alat semata sementara keadilan tampaknya hanya dilihat dari
sisi subjektif masing-masing pihak. Tidak ada keadilan yang objektif dan
tidak ada lembaga yang cukup kuat memutus atau mempertahankan keadilan.
Semua lembaga tampaknya hanya produsen dari mekanisme hukum itu sendiri.
Itu pun bila sang pemilik pabrik konsisten dengan norma hukum. Bila tidak
maka hanya Tuhan yang bisa mengakomodir keadilan bagi umatnya yang
terzalimi.

Padahal secara normatif seharusnya hukum dan keadilan dapat berjalan
bersama-sama. Hukum adalah perangkat sementara keadilan adalah jiwanya.
Produksi hukum harus berjiwa adil. Luna Maya memang tidak cukup dewasa
dalam menjaga emosinya. Biarkan dia dihukum secara moral. Tapi mari kita
kembalikan pada tempatnya dimana seharusnya hukum tidak perlu
menjangkaunya (Pasal 7 ayat 2 UU Pers Jo. Kode Etk Jurnalistik tentang Hak
Jawab). Masih ada Dewan Pers sebagai mediator yang dapat menyelesaikan
sengketa kasus infotaiment = pelacur tersebut. Seharusnya Pers pun dapat
lebih konsisten dengan komitmennya yang melalui Dewan Pers mengecam dan
bahkan pernah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Pasal 27
UU ITE tersebut. Sama konsistennya dengan komitmen Pers yang membela
habis-habisan Prita Mulyasari atas tuduhan pencemaran nama baik.

Membandingkan kasus Luna-Prita dengan Luna-Pers memang dapat
diperdebatkan. Bahwa mereka bukan Pers sehingga tidak punya hak untuk
melakukan Hak Jawab adalah sah-sah saja. Inti permasalahannya adalah
kekonsistenan para pihak dalam menghargai satu sama lain. Setiap orang
berhak mendapat perlakukan yang sama dalam hal keberatan kita terhadap
Pasal 27 UU ITE. Saya tidak bisa menghukum adik saya yang bungsu bila adik
saya yang tengah tidak dapat dihukum. Bila kita beranggapan bahwa Pasal 27
UU ITE beserta pasal-pasal punggawa lainnya tidak dapat dikenakan terhadap
Prita maka begitu pun terhadap Luna Maya.

B. Mediasi Prita Mulyasari

Jumlah total sumbangan untuk Prita terakhir kali yang terkumpul adalah
sejumlah Rp 825.728.550. Jumlah yang fantastis untuk seorang ibu rumah
tangga yang terzalimi. Jumlah itu sudah sangat cukup untuk memenuhi
Putusan PT Banten yang menghukum Prita sebesar Rp. 204.000.000. Putusan
yang ternyata tidak akan dilaksanakan oleh RS Omni yang telah berinisiatif
mencabut gugatannya. Namun ternyata pencabutan gugatan ini ditolak oleh PN
Tangerang karena dianggap perkara telah diputus PT Banten dan saat ini
perkara sedang berada di MA. Opini pun bergulir. Mafia hukum adalah topik
yang paling banyak membanjiri lorong-lorong pendapat. Trauma BLBI,
Anggodo-Anggoro serta yang lainnya melekat erat dibenak masing-masing
pemberi opini. Intinya satu. Mafia hukum sedang berencana menghancurkan
Prita Mulyasari, hamba Tuhan yang terzalimi.

Mungkin Tuhan diatas sana hanya tersenyum. Batasan antara pintar, kritis
dan sinis sudah sangat tipis saat ini. Orang-orang berlomba-lomba
mengeluarkan pendapat yang, secara subjektif, dianggap super tajam,
berlomba-lomba menghadirkan berbagai macam fakta serta argument dan
kemudian terjebak pada opini yang sudah terlanjur terbentuk. Manusia pada
hakikatnya hanya melihat hal-hal yang ingin dilihat. Jika secara subjektif
mereka mengangap mafia hukum yang terjadi maka secara otomatis fakta-fakta
mafia hukumlah yang akan mereka temukan. Sejujurnya saya pun menyesalkan
pendapat Ketua PN Banten yang menolak pencabutan gugatan RS Omni dengan
alasan perkara sedang diperiksa MA. Faktanya tidak seperti itu.

Perlu kami jelaskan terlebih dahulu bahwa pada dasarnya Perdamaian atau
Settlement sudah sejak dahulu kala diatur dalam ranah hukum positif kita.
Pasal 130 HIR (Herziena Indonesisch Reglement/Undang-undang Hukum Acara
Indonesia) Jo. Pasal 1851 KUH Perdata yang kemudian diperbaharui melalui
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No: I Tahun 2002 Jo Peraturan Mahkamah
Agung No: 2 Tahun 2003 sudah mengatur hal ini. Peraturan-peraturan ini
menyatakan bahwa setiap pihak berperkara yang hendak berdamai berhak
mengajukan Akta Perdamaian (Acte van Dading) kepada Ketua Pengadilan
Negeri setempat.

Bahwa kemudian dengan niat mempertegas prosedur Perdamaian maka pada 31
Juli 2008, Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan baru mengenai Mediasi
Perdamaian yaitu Perma I Tahun 2008. Peraturan ini secara subjektif
mengatur proses Perdamaian menjadi tidak sederhana lagi. Para pihak wajib
membuat Akta Perdamaian di Pengadilan Negeri setempat dengan didampingi
Mediator terpilih. Persoalan tambah rumit ketika perkara sudah diputus PN
dan sedang berada pada tingkat Banding/Kasasi/PK.

Saya paham masalah ini karena secara kebetulan kasus Klien saya dijadikan
pionir untuk sosialisasi Perma tersebut. Sengketa salah satu lembaga
pendidikan terbesar di Indonesia ini dianggap sebagai alat yang pas untuk
menjadi percontohan mediasi dimasa yang akan datang. Namun layaknya sebuah
pionir maka pelaksanaannya jauh dari lancar. Serupa dengan RS Omni-Prita
maka perdamaian antara Klien kami dan Tergugat pun dianggap tidak cukup
hanya dengan pencabutan gugatan karena perkara sedang diperiksa di taraf
banding/Kasasi. Dibutuhkan penyusunan Akta Perdamaian dengan didampingi
Mediator terpilih di Pengadilan setempat. Setelah itu disahkan oleh PT
dimana perkara kami diperiksa dan kemudian dilaporkan ke MA sebagai
pemberitahuan.

Kami sempat mengeluhkan rumitnya proses perdamaian ini kepada Bapak Atja
Sondjaja, Ketua Muda Perdata Mahkamah Agung dan konseptor Perma tersebut.
Menarik yang disampaikan Beliau. Menurutnya “adalah sebuah kemustahilan
perdamaian dapat terjadi tanpa itikad baik”. Dengan Perma ini, prosedur
dibuat agar para pihak dalam perkara benar-benar memahami, mematuhi dan
sungguh-sungguh menjalani itikad baiknya untuk berdamai yang disaksikan
oleh Mediator yang notabene wakil dari pengadilan tempat diputusnya
perkara. Jadi intinya, kasus Prita bukan berarti “dimainkan” oleh mafia
hukum dan selayaknya tidak ditolak begitu saja oleh KPN Tangerang.
Melainkan memang membutuhkan proses hukum lebih lanjut. Seharusnya KPN
Tangerang dapat menganjurkan kuasa hukum RS Omni untuk memberikan Surat
Pencabutan Perkara berikut dengan Permohonan Mediasi ke PN Tangerang.
Setelah itu KPN Tangerang menunjuk Mediator untuk memulai proses mediasi
dengan memberitahukan kepada Majelis ditingkat Kasasi mengenai proses
Mediasi ini agar perkara tersebut ditunda pemeriksaannya (Pasal 21 Perma I
Tahun 2008).

C. Kontroversi Sri Mulyani

Cukup sedih mendengar nama si Ibu menjadi pesakitan. Padahal si Ibu
merupakan salah satu wanita paling berpengaruh di dunia menurut majalah
Forbes. Posisi itu sekaligus menempatkan si Ibu sebagai orang nomor tiga
paling berkuasa di Asia. Ia hanya kalah “hebat” dari Ho Ching, Direktur
Eksekutif Temasek Holdings, Singapura, yang berada di posisi ke-8; dan
Sonia Gandhi, Presiden Partai Kongres Nasional India (INC) yang menempati
peringkat ke-21 namun mengalahkan pamor Aung San Suu Kyi, peraih Nobel
yang kini berada dalam tahanan rumah junta militer Myanmar.

Beliau dianggap faktor penentu kasus Century yang ujung-ujungnya membuat
Beliau “dimohonkan” untuk non-aktif. Tentu saja secara hukum hal tersebut
tidak dibenarkan. Persis seperti pembentukan Tim 8 yang kontroversial.
Tidaklah dibenarkan judikatif-legislatif-eksekutif saling mencampuri
urusan masing-masing (azas Trias Politika). Mungkin tindakan Pansus
Century ini adalah untuk menunjukan existensi lembaga legislative kepada
lembaga eksekutif yang pernah membentuk tim 8 tersebut. Mungkin juga, bila
meminjam istilah teori konspirasi, dengan menon-aktifkan sementara Sri
Mulyani dapat membuat pelaku bisnis meraup keuntungan berlipat-lipat tanpa
pengawasan mengingat awal tahun depan Dollar akan membanjir. Semua
argument memang mungkin saja terjadi. Namun intinya si Ibu tidak berhak
diperlakukan seperti ini. Menuduh si Ibu kongkalikong dengan Robert
Tantular dalam rapat KSSK benar-benar pepesan kosong. Apalagi rekaman
elektronik sang empu dapat dengan mudah ditepis kebenarannya. Memindahkan
persoalan kepada Sri Mulyani seorang sehingga membuat persoalan utama
menjadi kabur adalah hal yang harus dihindarkan. Faktanya, Robert Tantular
dan Anggodo yang jelas-jelas mempunyai alasan kuat untuk dicurigai
ternyata sama sekali belum diperiksa. Demi pemeriksaan yang komprehensif
sudah selayaknya pemeriksaan dilakukan terhadap pelaku utama (in casu
pemilik bank/pemegang saham mayoritas) terlebih dahulu yang kemudian
ditindaklanjuti dengan keterangan-keterangan lain sebagai variable
pembanding dan pelengkap. Pemeriksaan terhadap variable pembanding dan
pendukung terlebih dahulu ibarat seperti menyantap bakso dengan melahap
sambalnya terlebih dahulu. Ujung-ujungnya tidak akan selesai karena sudah
tidak enak dari awal.

Tahun 2009 pada akhirnya akan menjadi kenangan. Unsur politis masih diatas
ekonomi dan hukum. Semua selalu harus diakomodir. Namun kedewasaan
membutuhkan waktu. Dengan itikad baik kita dapat yakin untuk kedepan
Indonesia pasti akan jauh lebih baik lagi. Gambaran ketiga wanita diatas
sedikit banyak dapat memberi kita pandangan mengenai cara pandang
masyarakat Indonesia. Saya tidak akan menghakimi. Namun alangkah lebih
baiknya bila kita sama-sama saling menghargai satu sama lain untuk
kedepannya. Demi Indonesia…

(Penulis adalah seorang Advokat di Jakarta dan Ketua Litigasi Lembaga
Bantuan Hukum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia / LBH HIPMI)

sumber : http://polhukam.kompasiana.com/2009/12/22/antara-luna-prita-sri-mulyani/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar